
SADISME dan ketelanjangan adalah sesuatu yang puitis. Karena ada sebuah metafora yang coba dieksplorasi secara detail melalui tubuh dan aneka mahluk yang sengaja diciptakan. Warna darah, aneka bentuk organ tubuh, ekspresi wajah dibekukan kedalam frame dan dapat dinikmati setiap detailnya. Setiap ‘rasa’ yang terkandung di dalamnya adalah ruh yang juga menyertai setiap proses dalam menciptakan karya dan mempunyai makna yang sangatpersonal. Terlepas pada akhirnya apa yang mereka hasilkan menjadi bagian dari komodifikasi sebuah produk ‘seni pakai’. Makna karyanya tereduksi ke dalam produk baju dan pernik merchandise lainnya sesuai dengan keinginan para ‘pemesan’. Menjadi barang-barang yang mengalami proses duplikasi dan diproduksi secara masal.
ITULAH nukilan pengantar dari Addy Gembel menjelang The Illuminator Artwork Exhibition “The Undead, Skull and Creatures” yang digelar di Galeri Padi, Bandung, 19 November sampai 4 Desember 2010 silam. Bukan hanya acungan jempol, ekshibisi itu sekaligus menandai eksistensi sebuah subkultur yang selama ini kerap dipandang nyinyir. Sebuah subkultur yang dituding lebih banyak mengundak rasa ngeri ketimbang decak kagum.
Ekshibisi itu benar-benar memiliki efek cukup besar terhadap eksistensi para artworker yang tergabung dalam The Illuminator. Banyak hal mereka cetuskan, bukan sekadar memajang sederet karya di Galeri Padi sepanjang dua pekan penuh. Salah satu yang paling penting, melalui ekshibisi itu, The Illuminator memproklamirkan sebuah gerakan yang bertujuan mengangkat sub-culture art (dan sudah pasti juga artworker) ke level lebih bergengsi.
The Illuminator, misalnya, berusaha menyadarkan para artworker untuk tidak mudah tunduk pada situasi yang menyebabkan karya mereka tidak dihargai secara pantas. Secara spesifik, penyadaran itu kini sudah menghasilkan sebuah manifesto penting, yakni menyangkut angkat yang harus dipatok artworker untuk banderol karya mereka. “Kita harus punya standar hargaminimal untuk karya kita,” tulis Dinan Art, pentolan The Illuminator, dalam sebuah jurnal yang ia sebar di sela-sela Bandung Berisik V.
Manifesto itu muncul karena dipicu kasus persaingan yang tidak sehat antara sesama artworker. Tak jarang ada artworker yang rela menjual karyanya dengan harga rendah, dengan alasan asal jadi duit. Praktik-praktik seperti jelas akan berdampak pada sudut pandang ‘pasar’. Sebab, sekali artworker membanderol rendah karyanya, maka seumur-umur ia akan dicap murah oleh ‘pasar’. Meski kemudian kualitas karyanya membaik, maka ‘pasar’ akan tetap mencap murah.
Propaganda profan lain yang gencar dilakukan The Illuminator adalah menyangkut perang terhadap pembajakan. Seperti di sektor lain, pembajakan terhadap karya subkultur ini juga sudah sangat mengkhawatirkan. Pernah suatu kali, ada pembajakan terhadap merchandise band lokal yang sangat masif. Lebih gilanya lagi, pembajakan itu dilakukan ‘kawan kita’ sendiri dengan kilah membantu promosi sebuah band bersangkutan.
Bagi para artworker, pembajakan berbanding lurus dengan periuk mereka. Maka wajar jika mereka bereaksi. Termasuk artworker yang tergabung dalam The Illuminator.
KELAHIRAN
The Illuminator sendiri mulai tercetus sejak Juli 2009. Tepatnya bermula dari obrolan antara Dinan Art, Ken Terror, dan Gencuy Brutal Art di Common Room. Obrolan itu kemudian melahirkan kesepahaman untuk mendirikan sebuah gerakan kolektif para artworker yang didasarkan pada upaya mencari cara terbaik dalam menghadapi sejumlah persoalan saat menjalin hubungan dengan klien, baik musisi lokal maupun mancanegara. Selama ini, kebanyakan klien para artworker itu memang datang dari kalangan band/musisi.
Setelah itu, makin banyak saya artworker yang bergabung dengan The Illuminator. Ada Gustav In Suffer, Wibowo Yudo Baskoro, Jonrinz, Ilham Tks Lowskill, Ilham Rusnovelli, Candra MFA, Rudi Gorginsuicide, Yusep Morterm Art, dll, bersedia ikut ambil bagian The Illuminator Artwork Exhibition “The Undead, Skull and Creatures”.
“Kami sadar saat ini The Illuminator belum menjadi wadah yang terorganisasi dengan rapi. Tapi, The Illuminator sedikit-banyak mampu menjadi mitra bagi artworker dalam menghadapi beragam persoalan,” tutur Dinan.
Tapi, ibarat rumah, The Illuminator setidaknya telah mampu menyediakan tempat bagi para artworker untuk berteduh dan saling berbagi dengan sesama anggota keluarga.